Jumat, 01 Juni 2012

REVITALISASI KULTUR /BUDAYA SUKU BATAK OLEH: Dr. MURNARIA MANALU,S.Pd, MM


REVITALISASI  KULTUR /BUDAYA  SUKU  BATAK
OLEH:  Dr. MURNARIA MANALU,S.Pd, MM
GURU SMP 216 Jakarta  DAN PENULIS BUKU-BUKU GEOGRAFI dan PENDIDIKAN



         Mengapa kultur di Tanah Batak perlu direvitalisasi ? Apa manfaatnya revitalisasi bagi masyarakat  di Tanah Batak atau diperantauan?   
         Berangkat dari pertanyaan ini penulis ingin mengajak semua pembaca Warga Batak, agar peduli apa yang terjadi dengan saudara kita yang berdomisili di Tanah   Batak, ataupun  yang berada diperantauan. Mari kita sama-sama menyelesaikan masalah yang ada di sekitar kita dan serta mau  berbuat mengangkat derajat kita Orang Batak, baik yang berada di Tanah Batak ataupun diperantauan, agar kita dapat berperan dalam pembangunan di tanah air tercinta, ataupun menggali potensi, dimana orang Batak tersebut berdomisili baik di Indonesia ataupun, di seluruh Manca Negara.

a. Mengapa kultur Batak harus perlu direvitalisasi ?
      
         Makna ”revitalisasi” menurut kamus Bahasa Indonesia adalah ” proses, cara, perbuatan memvitalkan (menjadi vital) , berupaya menghidupkan kembali spirit”  Berangkat   dari makna kamus  dan judul di atas berarti tulisan ini akan mengulas secara lugas dan tegas tentang fakta-fakta yang terdapat pada Orang Batak  baik kelebihan dan kekurangannya.          
         Seharusnya kita bangga sebagai Orang Batak! Ditinjau dari segi kultur/ kebudayaan Suku Batak,  memiliki banyak kelebihan dibandingkan suku lainnya di Indonesia. Suku Batak punya kelebihan dalam berbagai hal, antara lain  Suku Batak memiliki budaya yang tinggi karena telah memiliki: aksara, bahasa, alat musik, tarian, silsilah kemargaan, lagu-lagu daerah, senirupa, ornamen warna khas Batak, rumah, ulos, adat istiadat, kekerabatan, punya pahlawan nasional, falsafah kehidupan seperti dalihan natolu,  dan masih banyak lagi yang perlu digali,  ditulis, dan didokumentasikan  agar dapat diwariskan,  diketahui generasi berikutnya atau oleh masyarakat  luas.
           Penulisan ini dibuat penulis karena tergerak hati untuk memberi sumbangsih kepada Tanah Batak dan sebagai putri Batak.  Penugasan penulis sebagai anggota Tim Verifikasi Sekolah Standard Nasional  (SSN SMP) ke Propinsi Sumatra Utara untuk tahun 2007, khususnya ke SMP Baktiraja Kabupaten Humbang Hasundutan, membuat penulis tergerak untuk mengangkat tulisan ini, agar menjadi pemikiran bersama untuk meningkatkan potensi Orang Batak.
          Pertanyaan penulis kepada para siswa pada saat tanya jawab di lapangan upacara, sangat mudah yaitu: ” Siapakah tokoh Nasional  Pahlawan Sisingamangaraja ke XII dan apa perannya dalam memperjuangkan kemerdekaan ? ” Hanya 2 orang dari sekian banyak siswa yang mampu menjawab secara lisan. Padahal keberadaan objek wisata sejarah itu berada di lingkungan sekitar mereka di daerah Baktiraja.
         Mungkin bila pertanyaan  sederhana ini, diajukan kepada masyarakat Batak di Sumatra Utara ataupun diperantauan tentu jawabannya sangat beragam. Dan bila dilanjutkan kepada  pertanyaan berikut, dimanakah lokasi-lokasi yang bersejarah dari pahlawan nasional kita tersebut? Pasti sudah banyak Orang Batak yang lupa atau tidak tahu,  atau barangkali tidak mau tahu. Padahal bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai pahlawan atau orang-orang yang berjasa bagi negaranya.
          Peringatan 100 tahun Peringatan Pahlawan Nasional  Sisingamangaraja ke XII seharusnya dapat menjadi momentum awal atau gebrakan untuk memperkenalkan Peran Pahlawan Nasional Sisingamangaraja ke XII, kepada masyarakat Batak  maupun,  bangsa Indonesia. ”Perang Batak” tercatat dalam sejarah bangsa, dan dapat menjadi potensi wisata yang bernuansa pendidikan khususnya wisatawan lokal dari sekitar Sumatra Utara, wisatawan  domestik maupun  manca negara.            Pertempuran perang Batak mulai meletus di Silindung, kemudian pertempuran menyebar ke daerah lain seperti Bahal Batu, Lobu Siregar, dan Bakkara. Dalam perjuangannya Sisingamangaraja Ke XII, mendapat dukungan dari rakyat Batak  dan  bahkan mendapat  dukungan para pejuang Aceh.
          Keberadaan Objek Wisata Sejarah ini berada di Desa Simamora, Kecamatan  Baktiraja adalah singkatan dari wilayah yang ada di sekitarnya yaitu Bakkara, Tipang, dan Janji Raja (Kabupaten Humbang Hasundutan) pada  Provinsi Sumatra Utara.  Wilayah ini memiliki potensi yang sangat prima dari segi pariwisata, namun belum ditata dengan baik, dan  promosinya belum  maksimal. Kecamatan ini terletak di Barisan Pegunungan Bukit Barisan yang diapit pegunungan dan lembah di Sekitar Tao Bakkara (bagian dari Danau Toba). Situs Sisingamangaraja ke XII, di Desa Simamora, dan di sekitar makam terdapat pula Batu Siungkapungkapon. Konon dari liang batu inilah dalam waktu singkat Pahlawan kita Sisingamangaraja dapat berada dibeberapa tempat  dalam waktu singkat. Hal ini bukan saja karena  kesaktiannya saja, tetapi hal ini dapat dimungkinkan karena dari pengamatan penulis, sesuai  topografi wilayah, kemungkinan ada sungai  bawah tanah  di sekitar pegunungan tersebut. Tentu hal ini perlu pembuktian lebih lanjut.
         Revitalisasi budaya juga dapat diawali dengan menjaga kelestarian benda-benda budaya, seperti  tongkat sakti ”Tunggul Panaluan”, dan situs yang ada.  Kita perlu mewariskan teknis penulisan makna dan arti aksara Batak,  ukiran , tenunan, bahasa dan lain-lain. Bila tidak diajarkan atau disampaikan kepada generasi secara turun-temurun, tentu suatu saat kebanggaan Orang Batak itu akan punah atau tinggal legenda saja.  Para pemuka atau tokoh Batak baik yang di Tanah Batak terutama diperantauan perlu membangun museum dan sekolah keterampilan untuk melatih budaya Batak agar tidak punah dimakan zaman. Tanah Batak  membutuhkan banyak museum untuk tetap memelihara seni budaya kita yang tinggi ini, beragam corak ulos dari masa ke masa, bukti-bukti sejarah ini masih perlu kita rawat dan pelihara sebagai warisan  untuk generasi yang akan datang.
        
    Objek Lembah Bakkara  yang menarik.
                           


Penulis di tepi pantai  danau di sekolah SMP Baktiraja


b.Apa Manfaatnya Revitalisasi kultur  bagi Masyarakat  di Tanah Batak atau   Diperantauan?

        Apakah kondisi di Tanah Batak telah begitu bermasalah atau dalam posisi stagnan atau dalam keadaan berhenti (mandek) sehingga perlu direvitalisasi? Tentu jawabannya berpulang kepada cara pandang anda memandang masalah. Suku Batak meliputi suku-suku yang berdomisili di sekitar Danau Toba atau suku bangsa yang berada di Provinsi Sumatra Utara. Suku  Batak, terdiri dari: Batak Toba, Karo, Mandailing, Pak Pak, Dairi, dll. Mengapa revitalisasi Tanah Batak bukan dilihat dari pembahasan  per-kabupaten, terutama  setelah otonomi daerah yang terjadi  saat ini ? Karena pembahasan secara utuh dari Tanah Batak akan menyatukan emosi dan sense off belonging warga Batak, bahwa kita masih bersaudara yaitu satu nenek moyang yaitu orang Batak, baik itu  Batak Toba, Karo, Mandailing, Pak Pak, Dairi, dll. 

         Keberadaan Suku Batak  sudah tersebar di seluruh wilayah Indonesia, bahkan mereka sudah menjadi warga negara lain,  diberbagai belahan dunia. Orang Batak juga telah berperan aktif di dalam pembangunan di negeri ini baik sejak awal kemerdekaan sampai saat ini. Mulai dari pejabat terkemuka di pemerintahan, pengusaha, guru, pengacara, pedagang, supir, mereka bekerja di sektor formal maupun in formal. Mereka mudah dikenali melalui marga atau silsilah yang melekat dibelakang namanya.
         Apa manfaatnya revitalisasi kultur  ini bagi Orang Batak?  Tulisan ini bertujuan memberikan kembali semangat baru bagi semua Orang Batak, agar mengenali dan menyadari hal-hal positif yang harus segera dilakukan oleh  semua keturunan  Orang Batak, baik anak, dan boru  yang memiliki marga Batak, dalam rangka meningkatkan  potensi dirinya secara khusus, dan masyarakat Batak pada umumnya.
         Saat ini banyak generasi muda Batak, memakai marga atau tidak memakai marga,  tetapi tidak tahu dan tidak dapat menggunakan bahasa Batak, alias ”Bahasanya marpasir-pasir”. Mereka tidak lagi memahami silsilah tarombo,  falsafah Batak,bertutur kata,  menganggap rendah terhadap adat istiadat dan mengganggap acara adat Batak membosankan, kuno, bahkan sudah banyak yang membenci ulos dll. Apa yang salah dengan bangsa ini ? Dimanapun bangsa di dunia sangat menghargai dan menghormati budayanya. Budaya merupakan jati diri dan alat ukur dari tingkat peradaban mereka. Kita harusnya bangga dan tetap memelihara kebudayaan Batak. Kita perlu berkaca  kepada Orang Cina, dimanapun mereka berada mereka tetap mewariskan bahasa ibu.
         Padahal nenek moyang kita sudah memberikan perekat keturunan yang luar biasa melalui marga, silsilah, bahasa, dll.  Sangat sedikit sekali bangsa atau suku di dunia ini memiliki silsilah, bukankah hal ini harus tetap kita lestarikan ? Perasaan senasib, sapangkilalaan angka na mardongan tubu semakin tipis, kasih semakin pudar, apalagi rasa tolong menolong antara saudara di Tanah Batak dengan Perantauan. Kalaupun ada itu terbatas hanya pada saudara dekat atau saat pesta atau upacara tertentu saja. Dahulu ketika sesama orang Batak bertemu di perantauan dengan dongan samarga atau bukan, selalu mempererat rasa tali silaturahmi. Tetapi ketika semakin besar jumlahnya silaturahmi juga semakin jauh. Mengapa hal positip ini harus hilang ditelan arus modernisasi dan globalisasi?
         Keunikan dari karya dan budaya Batak perlu terus dipelihara, karena tarian,  tenun ulos memiliki corak ragam yang unik, cantik, memiliki ciri khas tersendiri dan menjadi asset bangsa.  Kita perlu meningkatkan kepedulian ini, sehingga terjadi sinergi antara masyarakat di Tanah Batak dan Diperantauan, saling peduli dan berbuat nyata bukan hanya slogan tok. Orang Batak telah memiliki slogan : ”masi pature hutana be” tapi apa buktinya? Kita perlu mencontoh Minang Sagabu, masyarakat Padang, deng Jadi revitalisasi ini perlu dilakukan oleh semua orang Batak sesuai dengan kata falsafah kita ” Arga do bona pinasa.”
         Hal yang perlu direvitalisasi ulang, mendesak dan urgent adalah cara pandang dan pelaksanaan orang Batak terhadap pelaksanaan pesta Perkawinan dan Acara kematian. Mengapa? Lihatlah perilaku Orang Batak saat ini, rela berhutang sana sini agar pesta pernikahan anaknya asa jagar dibereng halak.
         Seharusnya kita berpesta sesuai dengan kemampuan ekonomi bukan berlebihan. Apakah tidak lebih baik biaya pernikahan yang menelan dana puluhan juta hingga ratusan juta, kita kurangi setengahnya menjadi modal awal kedua mempelai guna mendukung  perekonomian atau membuka lapangan kerja bagi mereka ? Padahal banyak putra putri Batak yang pesta pernikahannya luar biasa mewah tetapi ketika selesai upacara pernikahan untuk membayar kontrakan saja tidak ada uangnya, terpaksa tinggal di pondok mertua indah? Belum lagi perilaku para undangan, sudah banyak pesta orang Batak yang kurang lagi memiliki tata krama makan yang baik contohnya: belum berdoa, makanan di acara pesta sudah setengahnya para undangan selesai makan, belum lagi mamboan palastik  seolah-olah baru mengalami haleon.
         Pada acara kematian atau duka, terjadi dilemma terutama pada acara saur matua atau sari matua, selain upacara yang menelan biaya luar biasa, pemulangan jenasah kebona pasogit dan pembangunan tugu makam atau tambak. Sudahkah sisi  ini kita cermati sebagai sesuatu yang positif ataupun negatif terhadap masyarakat yang diperantauan atau mereka yang tinggal di Tanah Batak. Coba seandainya biaya membangun tambak dan upacara adatnya, digunakan untuk beasiswa siswa-siswi Orang Batak untuk dapat kuliah di Universitas terkemuka, pasti tugu hidup itu menjadi potensi yang luar biasa? Saat ini banyak putra-putri Batak yang terpaksa putus sekolah karena ketiadaan biaya ? Barangkali melalui tulisan ini, kita mau peduli terhadap eksistensi Orang Batak ?

Tidak ada komentar: