REVITALISASI KULTUR /BUDAYA SUKU BATAK
OLEH: Dr. MURNARIA MANALU,S.Pd, MM
GURU SMP 216 Jakarta DAN PENULIS BUKU-BUKU GEOGRAFI dan PENDIDIKAN
Mengapa kultur di Tanah Batak perlu direvitalisasi
? Apa manfaatnya revitalisasi bagi masyarakat di Tanah Batak atau diperantauan?
Berangkat dari pertanyaan
ini penulis ingin mengajak semua pembaca Warga Batak, agar peduli apa yang
terjadi dengan saudara kita yang berdomisili di Tanah Batak, ataupun yang berada diperantauan. Mari kita sama-sama
menyelesaikan masalah yang ada di sekitar kita dan serta mau berbuat mengangkat derajat kita Orang Batak,
baik yang berada di Tanah Batak ataupun diperantauan, agar kita dapat berperan
dalam pembangunan di tanah air tercinta, ataupun menggali potensi, dimana orang
Batak tersebut berdomisili baik di Indonesia ataupun, di seluruh Manca Negara.
a. Mengapa kultur Batak harus perlu direvitalisasi
?
Makna ”revitalisasi” menurut kamus Bahasa Indonesia adalah ” proses, cara,
perbuatan memvitalkan (menjadi vital) , berupaya menghidupkan kembali
spirit” Berangkat dari makna kamus dan judul di atas berarti tulisan ini akan
mengulas secara lugas dan tegas tentang fakta-fakta yang terdapat pada Orang
Batak baik kelebihan dan kekurangannya.
Seharusnya
kita bangga sebagai Orang Batak! Ditinjau dari segi kultur/ kebudayaan Suku Batak,
memiliki banyak kelebihan dibandingkan
suku lainnya di Indonesia. Suku Batak punya kelebihan dalam berbagai hal,
antara lain Suku Batak memiliki budaya
yang tinggi karena telah memiliki: aksara, bahasa, alat musik, tarian, silsilah
kemargaan, lagu-lagu daerah, senirupa, ornamen warna khas Batak, rumah, ulos,
adat istiadat, kekerabatan, punya pahlawan nasional, falsafah kehidupan seperti
dalihan natolu, dan masih banyak lagi
yang perlu digali, ditulis, dan
didokumentasikan agar dapat diwariskan, diketahui generasi berikutnya atau oleh masyarakat luas.
Penulisan
ini dibuat penulis karena tergerak hati untuk memberi sumbangsih kepada Tanah
Batak dan sebagai putri Batak. Penugasan
penulis sebagai anggota Tim Verifikasi Sekolah Standard Nasional (SSN SMP) ke Propinsi Sumatra Utara untuk
tahun 2007, khususnya ke SMP Baktiraja Kabupaten Humbang Hasundutan, membuat
penulis tergerak untuk mengangkat tulisan ini, agar menjadi pemikiran bersama untuk
meningkatkan potensi Orang Batak.
Pertanyaan penulis kepada
para siswa pada saat tanya jawab di lapangan upacara, sangat mudah yaitu: ” Siapakah tokoh Nasional Pahlawan Sisingamangaraja ke XII dan apa
perannya dalam memperjuangkan kemerdekaan ? ” Hanya 2 orang dari sekian
banyak siswa yang mampu menjawab secara lisan. Padahal keberadaan objek wisata
sejarah itu berada di lingkungan sekitar mereka di daerah Baktiraja.
Mungkin bila pertanyaan sederhana ini, diajukan kepada masyarakat
Batak di Sumatra Utara ataupun diperantauan tentu jawabannya sangat beragam. Dan
bila dilanjutkan kepada pertanyaan berikut,
dimanakah lokasi-lokasi yang bersejarah dari pahlawan nasional kita tersebut?
Pasti sudah banyak Orang Batak yang lupa atau tidak tahu, atau barangkali tidak mau tahu. Padahal bangsa
yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai pahlawan atau orang-orang yang
berjasa bagi negaranya.
Peringatan 100 tahun Peringatan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja ke XII seharusnya dapat
menjadi momentum awal atau gebrakan untuk memperkenalkan Peran Pahlawan Nasional
Sisingamangaraja ke XII, kepada masyarakat Batak maupun, bangsa Indonesia. ”Perang Batak” tercatat dalam sejarah bangsa, dan dapat menjadi
potensi wisata yang bernuansa pendidikan khususnya wisatawan lokal dari sekitar
Sumatra Utara, wisatawan domestik
maupun manca negara. Pertempuran perang Batak mulai meletus di
Silindung, kemudian pertempuran menyebar ke daerah lain seperti Bahal Batu,
Lobu Siregar, dan Bakkara. Dalam perjuangannya Sisingamangaraja Ke XII, mendapat
dukungan dari rakyat Batak dan bahkan mendapat dukungan para pejuang Aceh.
Keberadaan Objek Wisata
Sejarah ini berada di Desa Simamora, Kecamatan
Baktiraja adalah singkatan dari wilayah yang ada di sekitarnya yaitu
Bakkara, Tipang, dan Janji Raja (Kabupaten Humbang Hasundutan) pada Provinsi Sumatra Utara. Wilayah ini memiliki potensi yang sangat prima
dari segi pariwisata, namun belum ditata dengan baik, dan promosinya belum maksimal. Kecamatan ini terletak di Barisan
Pegunungan Bukit Barisan yang diapit pegunungan dan lembah di Sekitar Tao Bakkara
(bagian dari Danau Toba). Situs Sisingamangaraja ke XII, di Desa Simamora, dan di
sekitar makam terdapat pula Batu Siungkapungkapon. Konon dari liang batu inilah
dalam waktu singkat Pahlawan kita Sisingamangaraja dapat berada dibeberapa
tempat dalam waktu singkat. Hal ini
bukan saja karena kesaktiannya saja,
tetapi hal ini dapat dimungkinkan karena dari pengamatan penulis, sesuai topografi wilayah, kemungkinan ada sungai bawah tanah di sekitar pegunungan tersebut. Tentu hal ini
perlu pembuktian lebih lanjut.
Revitalisasi budaya juga
dapat diawali dengan menjaga kelestarian benda-benda budaya, seperti tongkat sakti ”Tunggul Panaluan”, dan situs
yang ada. Kita perlu mewariskan teknis
penulisan makna dan arti aksara Batak, ukiran , tenunan, bahasa dan lain-lain. Bila
tidak diajarkan atau disampaikan kepada generasi secara turun-temurun, tentu suatu
saat kebanggaan Orang Batak itu akan punah atau tinggal legenda saja. Para pemuka atau tokoh Batak baik yang di
Tanah Batak terutama diperantauan perlu membangun museum dan sekolah
keterampilan untuk melatih budaya Batak agar tidak punah dimakan zaman. Tanah
Batak membutuhkan banyak museum untuk
tetap memelihara seni budaya kita yang tinggi ini, beragam corak ulos dari masa
ke masa, bukti-bukti sejarah ini masih perlu kita rawat dan pelihara sebagai
warisan untuk generasi yang akan datang.
Objek Lembah Bakkara yang
menarik.
Penulis di tepi pantai danau di sekolah SMP Baktiraja
b.Apa
Manfaatnya Revitalisasi kultur bagi
Masyarakat di Tanah Batak atau Diperantauan?
Apakah kondisi di Tanah Batak telah begitu
bermasalah atau dalam posisi stagnan atau dalam keadaan berhenti (mandek)
sehingga perlu direvitalisasi? Tentu jawabannya berpulang kepada cara pandang
anda memandang masalah. Suku Batak meliputi suku-suku yang
berdomisili di sekitar Danau Toba atau suku bangsa yang berada di Provinsi
Sumatra Utara. Suku Batak, terdiri dari:
Batak Toba, Karo, Mandailing, Pak Pak, Dairi, dll. Mengapa revitalisasi Tanah
Batak bukan dilihat dari pembahasan
per-kabupaten, terutama setelah
otonomi daerah yang terjadi saat ini ?
Karena pembahasan secara utuh dari Tanah Batak akan menyatukan emosi dan sense
off belonging warga Batak, bahwa kita masih bersaudara yaitu satu nenek moyang
yaitu orang Batak, baik itu Batak Toba,
Karo, Mandailing, Pak Pak, Dairi, dll.
Keberadaan Suku Batak sudah tersebar di seluruh wilayah Indonesia,
bahkan mereka sudah menjadi warga negara lain, diberbagai belahan dunia. Orang Batak juga
telah berperan aktif di dalam pembangunan di negeri ini baik sejak awal
kemerdekaan sampai saat ini. Mulai dari pejabat terkemuka di pemerintahan,
pengusaha, guru, pengacara, pedagang, supir, mereka bekerja di sektor formal
maupun in formal. Mereka mudah dikenali melalui marga atau silsilah yang
melekat dibelakang namanya.
Apa manfaatnya revitalisasi
kultur ini bagi Orang Batak? Tulisan ini bertujuan memberikan kembali
semangat baru bagi semua Orang Batak, agar mengenali dan menyadari hal-hal
positif yang harus segera dilakukan oleh semua keturunan Orang Batak, baik anak, dan boru yang memiliki marga Batak, dalam rangka
meningkatkan potensi dirinya secara
khusus, dan masyarakat Batak pada umumnya.
Saat ini banyak generasi
muda Batak, memakai marga atau tidak memakai marga, tetapi tidak tahu dan tidak dapat menggunakan
bahasa Batak, alias ”Bahasanya
marpasir-pasir”. Mereka tidak lagi memahami silsilah tarombo, falsafah Batak,bertutur kata, menganggap rendah terhadap adat istiadat dan
mengganggap acara adat Batak membosankan, kuno, bahkan sudah banyak yang
membenci ulos dll. Apa yang salah dengan bangsa ini ? Dimanapun bangsa di dunia
sangat menghargai dan menghormati budayanya. Budaya merupakan jati diri dan
alat ukur dari tingkat peradaban mereka. Kita harusnya bangga dan tetap memelihara
kebudayaan Batak. Kita perlu berkaca kepada
Orang Cina, dimanapun mereka berada mereka tetap mewariskan bahasa ibu.
Padahal nenek moyang kita
sudah memberikan perekat keturunan yang luar biasa melalui marga, silsilah,
bahasa, dll. Sangat sedikit sekali
bangsa atau suku di dunia ini memiliki silsilah, bukankah hal ini harus tetap
kita lestarikan ? Perasaan senasib, sapangkilalaan angka na mardongan tubu
semakin tipis, kasih semakin pudar, apalagi rasa tolong menolong antara saudara
di Tanah Batak dengan Perantauan. Kalaupun ada itu terbatas hanya pada saudara
dekat atau saat pesta atau upacara tertentu saja. Dahulu ketika sesama orang
Batak bertemu di perantauan dengan dongan samarga atau bukan, selalu mempererat
rasa tali silaturahmi. Tetapi ketika semakin besar jumlahnya silaturahmi juga
semakin jauh. Mengapa hal positip ini harus hilang ditelan arus modernisasi dan
globalisasi?
Keunikan dari karya dan
budaya Batak perlu terus dipelihara, karena tarian, tenun ulos memiliki corak ragam yang unik,
cantik, memiliki ciri khas tersendiri dan menjadi asset bangsa. Kita perlu meningkatkan kepedulian ini,
sehingga terjadi sinergi antara masyarakat di Tanah Batak dan Diperantauan,
saling peduli dan berbuat nyata bukan hanya slogan tok. Orang Batak telah
memiliki slogan : ”masi pature hutana be” tapi apa buktinya? Kita perlu
mencontoh Minang Sagabu, masyarakat Padang, deng Jadi revitalisasi ini perlu
dilakukan oleh semua orang Batak sesuai dengan kata falsafah kita ” Arga do
bona pinasa.”
Hal yang perlu
direvitalisasi ulang, mendesak dan urgent adalah cara pandang dan pelaksanaan
orang Batak terhadap pelaksanaan pesta Perkawinan dan Acara kematian. Mengapa?
Lihatlah perilaku Orang Batak saat ini, rela berhutang sana sini agar pesta
pernikahan anaknya asa jagar dibereng halak.
Seharusnya kita berpesta
sesuai dengan kemampuan ekonomi bukan berlebihan. Apakah tidak lebih baik biaya
pernikahan yang menelan dana puluhan juta hingga ratusan juta, kita kurangi
setengahnya menjadi modal awal kedua mempelai guna mendukung perekonomian atau membuka lapangan kerja bagi
mereka ? Padahal banyak putra putri Batak yang pesta pernikahannya luar biasa
mewah tetapi ketika selesai upacara pernikahan untuk membayar kontrakan saja
tidak ada uangnya, terpaksa tinggal di pondok mertua indah? Belum lagi perilaku
para undangan, sudah banyak pesta orang Batak yang kurang lagi memiliki tata
krama makan yang baik contohnya: belum berdoa, makanan di acara pesta sudah
setengahnya para undangan selesai makan, belum lagi mamboan palastik seolah-olah baru mengalami haleon.
Pada acara kematian atau
duka, terjadi dilemma terutama pada acara saur matua atau sari matua, selain
upacara yang menelan biaya luar biasa, pemulangan jenasah kebona pasogit dan
pembangunan tugu makam atau tambak. Sudahkah sisi ini kita cermati sebagai sesuatu yang positif
ataupun negatif terhadap masyarakat yang diperantauan atau mereka yang tinggal
di Tanah Batak. Coba seandainya biaya membangun tambak dan upacara adatnya, digunakan
untuk beasiswa siswa-siswi Orang Batak untuk dapat kuliah di Universitas
terkemuka, pasti tugu hidup itu menjadi potensi yang luar biasa? Saat ini
banyak putra-putri Batak yang terpaksa putus sekolah karena ketiadaan biaya ?
Barangkali melalui tulisan ini, kita mau peduli terhadap eksistensi Orang Batak
?