Jumat, 01 Juni 2012

USAHA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

USAHA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
Peningkatan mutu pendidikan perlu dilakukan pemerintah, terlebih para guru. Hasil penelitian ini diteliti dan dimuat oleh Murnaria Manalu dalam disertasinya, dan pada  implikasi  penelitian maupun saran yang diberikan. Pemaparan peningkatan mutu dibahas baik  teoritik dan kebijakan maupun pemaparan hasil penelitian disertasi yang dilakukan di Provinsi Dki Jakarta. Kesimpulan yang diambil bahwa, Efektivitas Kepemimpinan Kepala SMP Negeri Provinsi DKI Jakarta dipengaruhi berbagai variasi dari variabel; Pengaruh kemampuan manajerial memiliki nilai yang lebih tinggi mempengaruhi efektivitas kepemimpinan dibandingkan motivasi dan pengambilan keputusan.
Kemampuan manajerial sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi. Seorang kepala   sekolah harus memiliki ketrampilan baik konseptual, teknis, administratif, dan berkomunikasi.  Implikasi penelitiannya mengusulkan agar pengambil kebijakan dalam menseleksi calon kepala sekola haruslah bebas KKN, jujur, transparan dan berdasarkan data base dari  kepangkatan dan prestasi para guru. Jabatan kepala sekolah harus menghindari trik-trik politik, karena sangat merugikan pendidikan.  Profesionalisme kepala sekolah  merupakan konsekuensi tugasnya sebagai pelayan publik. Ia merupakan tokoh figure di sekolah dan mitra dinas pendidikan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Selanjutnya, terdapat hasil temuan penelitian: adanya kepala  sekolah yang merangkap jabatan pada dua SMP Negeri yang berbeda dalam kurun waktu yang sama, tentu efektivitas kepemimpinannya rendah; dan pengangkatan karir seorang guru menjadi kepala sekolah tidak jelas, para  guru hanya tahu kapan dia masuk PNS dan kapan dia pensiun, tapi tidak dapat memastikan kapan menjadi kepala sekolah; dan karena tidak adanya batas periodesasi jabatan kepala sekolah.
Dia juga membuat implikasi kebijakan kepada  Pengambil kebijakan, agar dalam menseleksi kepala sekolah haruslah dilakukan secara baik, jujur dan transparan dengan memberi peluang yang sama kepada para guru; Penilaian kinerja kepala sekolah harus dilakukan tiap bulan dan triwulanan, bukan tahunan. Alasannya penilaian  selama ini  dipersiapkan kepala sekolah, hanya menjelang akreditasi saja. Hasil akreditasi harus sahih, bebas intervensi asing. Perlu adanya pembatasan jabatan kepala sekolah maksimal 2 (dua) periode, tidak boleh seumur hidup, atau sampai pensiun.  Setiap periode cukup 4 tahun dan tidak boleh menjabat di sekolah yang sama lebih dari satu periode.  
Mengapa perubahan ini harus segera dilakukan?  Saat ini dunia pendidikan membutuhkan manajer pendidikan yang energik, berpengetahuan, trampil dalam mengajar dan mendidik serta  menguasai tehnologi, bukan yang  tua-tua dan gaptek. Ingat dunia pendidikan di Indonesia sudah mengarah ke era globalisasi. 
Perlu adanya peningkatan kemampuan manajerial kepala sekolah SMP Negeri di Provinsi DKI Jakarta, melalui pelatihan manajemen secara berkala. Terutama sebelum menjabat pelatihan kepala sekolah  haruslah minimal 300 jam, karena kepala sekolah adalah tugas manajerial berbeda dari tugas seorang guru.
Atas dasar kesimpulan dan implikasi  tersebut, Murnaria Manalu memberikan saran. Agar motivasi, kemampuan manajerial kepala sekolah ditingkatan,  dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas; Hendaknya kepala sekolah mampu mengambil keputusan yang tepat dan akurat; Sebaiknya jabatan kepala sekolah akan menjadi bagian dari sistem karir guru.
Saran lainnya, Seharusnya perubahan paradigma pendidikan akan terjadi sejalan dengan kemajuan teknologi dan persaingan global; Hendaknya kepala sekolah yang akan menjabat perlu pelatihan manajemen dan membatasi masa  jabatan periodesasi kepala sekolah:  dan menjadi bagian jenjang karir guru dengan peluang sama, tanpa intrik politik, etnik dan lainnya.

Murnaria Manalu dalam menapaki karirnya sebagai guru, penulis di PT Erlangga dan PT Balai Pustaka dan instruktur Geografi Tingkat Nasional. Terhitung sejak 01 Januari 2009 dia telah mendapat Pangkat Pembina Utama Madya/IV d dengan penetapan Angka Kredit sejumlah 901.352 (level ke dua tertinggi dalam kepangkatan PNS).
Beberapa prestasi yang diraihnya, antara lain anggota tim penilai buku Tingkat Nasional dan Provinsi DKI Jakarta, Ketua MGMP Geografi SMP/IPS Kodya Jakarta Pusat,  anggota Pengurus Ikatan Geografi Indonesia (IGI) mewakili SMP
Berbagai karya ilmiah telah ditulis dan digunakan untuk kenaikan pangkat/golongan IV a ke IV b, dari IV b ke IV c, dan dari IV c ke IV d. Pengabdian masyarakat pun dilakoninya, sebagai ketua seksi pendidikan HKBP Sola Gratia Kayu Mas Jakarta dan sekretaris Yayasan Sola Gratia.
Penugasan dari Departemen Pendidikan Nasional juga dijalankannya. Peserta Simposium Guru Tingkat Nasional (2004). Anggota vertifikasi sekolah Standar Nasional untuk Kabupaten Garut Jawa Barat (2005). Balikpapan (Kaltim)  Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur (2005). Tim Monitoring Kabupaten Pakpak Barat, Kabupaten Simalungun, Tanah Karo, dan Tebing Tinggi (2006).

REVITALISASI KULTUR /BUDAYA SUKU BATAK OLEH: Dr. MURNARIA MANALU,S.Pd, MM


REVITALISASI  KULTUR /BUDAYA  SUKU  BATAK
OLEH:  Dr. MURNARIA MANALU,S.Pd, MM
GURU SMP 216 Jakarta  DAN PENULIS BUKU-BUKU GEOGRAFI dan PENDIDIKAN



         Mengapa kultur di Tanah Batak perlu direvitalisasi ? Apa manfaatnya revitalisasi bagi masyarakat  di Tanah Batak atau diperantauan?   
         Berangkat dari pertanyaan ini penulis ingin mengajak semua pembaca Warga Batak, agar peduli apa yang terjadi dengan saudara kita yang berdomisili di Tanah   Batak, ataupun  yang berada diperantauan. Mari kita sama-sama menyelesaikan masalah yang ada di sekitar kita dan serta mau  berbuat mengangkat derajat kita Orang Batak, baik yang berada di Tanah Batak ataupun diperantauan, agar kita dapat berperan dalam pembangunan di tanah air tercinta, ataupun menggali potensi, dimana orang Batak tersebut berdomisili baik di Indonesia ataupun, di seluruh Manca Negara.

a. Mengapa kultur Batak harus perlu direvitalisasi ?
      
         Makna ”revitalisasi” menurut kamus Bahasa Indonesia adalah ” proses, cara, perbuatan memvitalkan (menjadi vital) , berupaya menghidupkan kembali spirit”  Berangkat   dari makna kamus  dan judul di atas berarti tulisan ini akan mengulas secara lugas dan tegas tentang fakta-fakta yang terdapat pada Orang Batak  baik kelebihan dan kekurangannya.          
         Seharusnya kita bangga sebagai Orang Batak! Ditinjau dari segi kultur/ kebudayaan Suku Batak,  memiliki banyak kelebihan dibandingkan suku lainnya di Indonesia. Suku Batak punya kelebihan dalam berbagai hal, antara lain  Suku Batak memiliki budaya yang tinggi karena telah memiliki: aksara, bahasa, alat musik, tarian, silsilah kemargaan, lagu-lagu daerah, senirupa, ornamen warna khas Batak, rumah, ulos, adat istiadat, kekerabatan, punya pahlawan nasional, falsafah kehidupan seperti dalihan natolu,  dan masih banyak lagi yang perlu digali,  ditulis, dan didokumentasikan  agar dapat diwariskan,  diketahui generasi berikutnya atau oleh masyarakat  luas.
           Penulisan ini dibuat penulis karena tergerak hati untuk memberi sumbangsih kepada Tanah Batak dan sebagai putri Batak.  Penugasan penulis sebagai anggota Tim Verifikasi Sekolah Standard Nasional  (SSN SMP) ke Propinsi Sumatra Utara untuk tahun 2007, khususnya ke SMP Baktiraja Kabupaten Humbang Hasundutan, membuat penulis tergerak untuk mengangkat tulisan ini, agar menjadi pemikiran bersama untuk meningkatkan potensi Orang Batak.
          Pertanyaan penulis kepada para siswa pada saat tanya jawab di lapangan upacara, sangat mudah yaitu: ” Siapakah tokoh Nasional  Pahlawan Sisingamangaraja ke XII dan apa perannya dalam memperjuangkan kemerdekaan ? ” Hanya 2 orang dari sekian banyak siswa yang mampu menjawab secara lisan. Padahal keberadaan objek wisata sejarah itu berada di lingkungan sekitar mereka di daerah Baktiraja.
         Mungkin bila pertanyaan  sederhana ini, diajukan kepada masyarakat Batak di Sumatra Utara ataupun diperantauan tentu jawabannya sangat beragam. Dan bila dilanjutkan kepada  pertanyaan berikut, dimanakah lokasi-lokasi yang bersejarah dari pahlawan nasional kita tersebut? Pasti sudah banyak Orang Batak yang lupa atau tidak tahu,  atau barangkali tidak mau tahu. Padahal bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai pahlawan atau orang-orang yang berjasa bagi negaranya.
          Peringatan 100 tahun Peringatan Pahlawan Nasional  Sisingamangaraja ke XII seharusnya dapat menjadi momentum awal atau gebrakan untuk memperkenalkan Peran Pahlawan Nasional Sisingamangaraja ke XII, kepada masyarakat Batak  maupun,  bangsa Indonesia. ”Perang Batak” tercatat dalam sejarah bangsa, dan dapat menjadi potensi wisata yang bernuansa pendidikan khususnya wisatawan lokal dari sekitar Sumatra Utara, wisatawan  domestik maupun  manca negara.            Pertempuran perang Batak mulai meletus di Silindung, kemudian pertempuran menyebar ke daerah lain seperti Bahal Batu, Lobu Siregar, dan Bakkara. Dalam perjuangannya Sisingamangaraja Ke XII, mendapat dukungan dari rakyat Batak  dan  bahkan mendapat  dukungan para pejuang Aceh.
          Keberadaan Objek Wisata Sejarah ini berada di Desa Simamora, Kecamatan  Baktiraja adalah singkatan dari wilayah yang ada di sekitarnya yaitu Bakkara, Tipang, dan Janji Raja (Kabupaten Humbang Hasundutan) pada  Provinsi Sumatra Utara.  Wilayah ini memiliki potensi yang sangat prima dari segi pariwisata, namun belum ditata dengan baik, dan  promosinya belum  maksimal. Kecamatan ini terletak di Barisan Pegunungan Bukit Barisan yang diapit pegunungan dan lembah di Sekitar Tao Bakkara (bagian dari Danau Toba). Situs Sisingamangaraja ke XII, di Desa Simamora, dan di sekitar makam terdapat pula Batu Siungkapungkapon. Konon dari liang batu inilah dalam waktu singkat Pahlawan kita Sisingamangaraja dapat berada dibeberapa tempat  dalam waktu singkat. Hal ini bukan saja karena  kesaktiannya saja, tetapi hal ini dapat dimungkinkan karena dari pengamatan penulis, sesuai  topografi wilayah, kemungkinan ada sungai  bawah tanah  di sekitar pegunungan tersebut. Tentu hal ini perlu pembuktian lebih lanjut.
         Revitalisasi budaya juga dapat diawali dengan menjaga kelestarian benda-benda budaya, seperti  tongkat sakti ”Tunggul Panaluan”, dan situs yang ada.  Kita perlu mewariskan teknis penulisan makna dan arti aksara Batak,  ukiran , tenunan, bahasa dan lain-lain. Bila tidak diajarkan atau disampaikan kepada generasi secara turun-temurun, tentu suatu saat kebanggaan Orang Batak itu akan punah atau tinggal legenda saja.  Para pemuka atau tokoh Batak baik yang di Tanah Batak terutama diperantauan perlu membangun museum dan sekolah keterampilan untuk melatih budaya Batak agar tidak punah dimakan zaman. Tanah Batak  membutuhkan banyak museum untuk tetap memelihara seni budaya kita yang tinggi ini, beragam corak ulos dari masa ke masa, bukti-bukti sejarah ini masih perlu kita rawat dan pelihara sebagai warisan  untuk generasi yang akan datang.
        
    Objek Lembah Bakkara  yang menarik.
                           


Penulis di tepi pantai  danau di sekolah SMP Baktiraja


b.Apa Manfaatnya Revitalisasi kultur  bagi Masyarakat  di Tanah Batak atau   Diperantauan?

        Apakah kondisi di Tanah Batak telah begitu bermasalah atau dalam posisi stagnan atau dalam keadaan berhenti (mandek) sehingga perlu direvitalisasi? Tentu jawabannya berpulang kepada cara pandang anda memandang masalah. Suku Batak meliputi suku-suku yang berdomisili di sekitar Danau Toba atau suku bangsa yang berada di Provinsi Sumatra Utara. Suku  Batak, terdiri dari: Batak Toba, Karo, Mandailing, Pak Pak, Dairi, dll. Mengapa revitalisasi Tanah Batak bukan dilihat dari pembahasan  per-kabupaten, terutama  setelah otonomi daerah yang terjadi  saat ini ? Karena pembahasan secara utuh dari Tanah Batak akan menyatukan emosi dan sense off belonging warga Batak, bahwa kita masih bersaudara yaitu satu nenek moyang yaitu orang Batak, baik itu  Batak Toba, Karo, Mandailing, Pak Pak, Dairi, dll. 

         Keberadaan Suku Batak  sudah tersebar di seluruh wilayah Indonesia, bahkan mereka sudah menjadi warga negara lain,  diberbagai belahan dunia. Orang Batak juga telah berperan aktif di dalam pembangunan di negeri ini baik sejak awal kemerdekaan sampai saat ini. Mulai dari pejabat terkemuka di pemerintahan, pengusaha, guru, pengacara, pedagang, supir, mereka bekerja di sektor formal maupun in formal. Mereka mudah dikenali melalui marga atau silsilah yang melekat dibelakang namanya.
         Apa manfaatnya revitalisasi kultur  ini bagi Orang Batak?  Tulisan ini bertujuan memberikan kembali semangat baru bagi semua Orang Batak, agar mengenali dan menyadari hal-hal positif yang harus segera dilakukan oleh  semua keturunan  Orang Batak, baik anak, dan boru  yang memiliki marga Batak, dalam rangka meningkatkan  potensi dirinya secara khusus, dan masyarakat Batak pada umumnya.
         Saat ini banyak generasi muda Batak, memakai marga atau tidak memakai marga,  tetapi tidak tahu dan tidak dapat menggunakan bahasa Batak, alias ”Bahasanya marpasir-pasir”. Mereka tidak lagi memahami silsilah tarombo,  falsafah Batak,bertutur kata,  menganggap rendah terhadap adat istiadat dan mengganggap acara adat Batak membosankan, kuno, bahkan sudah banyak yang membenci ulos dll. Apa yang salah dengan bangsa ini ? Dimanapun bangsa di dunia sangat menghargai dan menghormati budayanya. Budaya merupakan jati diri dan alat ukur dari tingkat peradaban mereka. Kita harusnya bangga dan tetap memelihara kebudayaan Batak. Kita perlu berkaca  kepada Orang Cina, dimanapun mereka berada mereka tetap mewariskan bahasa ibu.
         Padahal nenek moyang kita sudah memberikan perekat keturunan yang luar biasa melalui marga, silsilah, bahasa, dll.  Sangat sedikit sekali bangsa atau suku di dunia ini memiliki silsilah, bukankah hal ini harus tetap kita lestarikan ? Perasaan senasib, sapangkilalaan angka na mardongan tubu semakin tipis, kasih semakin pudar, apalagi rasa tolong menolong antara saudara di Tanah Batak dengan Perantauan. Kalaupun ada itu terbatas hanya pada saudara dekat atau saat pesta atau upacara tertentu saja. Dahulu ketika sesama orang Batak bertemu di perantauan dengan dongan samarga atau bukan, selalu mempererat rasa tali silaturahmi. Tetapi ketika semakin besar jumlahnya silaturahmi juga semakin jauh. Mengapa hal positip ini harus hilang ditelan arus modernisasi dan globalisasi?
         Keunikan dari karya dan budaya Batak perlu terus dipelihara, karena tarian,  tenun ulos memiliki corak ragam yang unik, cantik, memiliki ciri khas tersendiri dan menjadi asset bangsa.  Kita perlu meningkatkan kepedulian ini, sehingga terjadi sinergi antara masyarakat di Tanah Batak dan Diperantauan, saling peduli dan berbuat nyata bukan hanya slogan tok. Orang Batak telah memiliki slogan : ”masi pature hutana be” tapi apa buktinya? Kita perlu mencontoh Minang Sagabu, masyarakat Padang, deng Jadi revitalisasi ini perlu dilakukan oleh semua orang Batak sesuai dengan kata falsafah kita ” Arga do bona pinasa.”
         Hal yang perlu direvitalisasi ulang, mendesak dan urgent adalah cara pandang dan pelaksanaan orang Batak terhadap pelaksanaan pesta Perkawinan dan Acara kematian. Mengapa? Lihatlah perilaku Orang Batak saat ini, rela berhutang sana sini agar pesta pernikahan anaknya asa jagar dibereng halak.
         Seharusnya kita berpesta sesuai dengan kemampuan ekonomi bukan berlebihan. Apakah tidak lebih baik biaya pernikahan yang menelan dana puluhan juta hingga ratusan juta, kita kurangi setengahnya menjadi modal awal kedua mempelai guna mendukung  perekonomian atau membuka lapangan kerja bagi mereka ? Padahal banyak putra putri Batak yang pesta pernikahannya luar biasa mewah tetapi ketika selesai upacara pernikahan untuk membayar kontrakan saja tidak ada uangnya, terpaksa tinggal di pondok mertua indah? Belum lagi perilaku para undangan, sudah banyak pesta orang Batak yang kurang lagi memiliki tata krama makan yang baik contohnya: belum berdoa, makanan di acara pesta sudah setengahnya para undangan selesai makan, belum lagi mamboan palastik  seolah-olah baru mengalami haleon.
         Pada acara kematian atau duka, terjadi dilemma terutama pada acara saur matua atau sari matua, selain upacara yang menelan biaya luar biasa, pemulangan jenasah kebona pasogit dan pembangunan tugu makam atau tambak. Sudahkah sisi  ini kita cermati sebagai sesuatu yang positif ataupun negatif terhadap masyarakat yang diperantauan atau mereka yang tinggal di Tanah Batak. Coba seandainya biaya membangun tambak dan upacara adatnya, digunakan untuk beasiswa siswa-siswi Orang Batak untuk dapat kuliah di Universitas terkemuka, pasti tugu hidup itu menjadi potensi yang luar biasa? Saat ini banyak putra-putri Batak yang terpaksa putus sekolah karena ketiadaan biaya ? Barangkali melalui tulisan ini, kita mau peduli terhadap eksistensi Orang Batak ?

Revitalisasi Kultur Batak oleh Dr. Murnaria Manalu


REVITALISASI KULTUR BATAK
Murnaria Manalu wanita perkasa ini, dalam bincang-bincang dengan DALIHAN NATOLU, Sabtu 07 Nopember 2009, ternyata sangat peduli terhadap perkembangan masyarakat Batak. Dalam tulisannya, ”Kultur  Batak  perlu direvitalisasi.”  Bertujuan  untuk mengajak masyarakat Batak, agar peduli apa yang terjadi di Tanah Batak maupun yang berada di perantauan.
Apakah revitalisasi itu? Revitalisasi merupakan proses, cara, perbuatan memvitalkan (menjadi vital), berupaya menghidupkan kembali spirit. Hal ini dapat terlaksana dengan melihat fakta-fakta yang ada, baik kelebihan maupun kekurangannya.
Seharusnya kita bangga sebagai orang Batak, karena  Suku Batak memiliki banyak kelebihan dibandingkan suku lainnya di Indonesia,” ujarnya.
          Kelebihan tersebut dijabarkannya, antara lain memiliki budaya Batak lebih hebat. Bukti ini dapat dilihat Suku Batak memiliki aksara, bahasa, alat musik, tarian, silsilah kemargaan, lagu daerah, ornamen seni rupa dengan warna khas, rumah bolon, ulos, adat istiadat, sistem kekerabatan dan pahlawan nasional.
Ketika kepadanya ditanyakan apa manfaat revitalisasi kultur tersebut bagi orang Batak, Murnaria Manalu menyatakan untuk memberikan kembali semangat baru, agar mengenali dan menyadari hal positif yang harus segera dilakukan oleh  semua keturunan orang Batak, dalam rangka meningkatkan potensi dirinya dan saudaranya.
Dia sangat menyayangkan banyaknya generasi muda Batak, yang tidak tahu dan tidak dapat lagi menggunakan bahasa Batak. Mereka tidak lagi memahami silsilah tarombo, falsafah Batak, bertutur kata, menganggap rendah terhadap adat istiadat dan mengganggap acara adat Batak membosankan, kuno, bahkan sudah banyak pula yang membenci ulos dan lainnya.
Apa yang salah dengan bangsa ini?” ujarnya sambil bertanya. Menurutnya dimanapun bangsa di dunia ini, sangat menghargai dan menghormati budayanya. Budaya merupakan jati diri dan alat ukur dari tingkat peradaban manusia. Untuk itu kita harus bangga dan tetap memelihara kelestarian kebudayaan Batak. Masyarakat Batak perlu berkaca kepada orang China, dimana pun mereka berada, tetap mewariskan bahasa ibu.
Murnaria  Manalu juga mengajak agar kita  tetap memelihara keunikan karya dan budaya Batak. Karena aksara, ukiran, tarian dan tenun ulos memiliki corak ragam yang unik, cantik, memiliki ciri khas tersendiri dan menjadi asset bangsa. ”Untuk itu perlu meningkatkan kepedulian orangtua, pemuka, dan tokoh adat, sehingga terjadi sinergi antara masyarakat di Tanah Batak dan di perantauan. Saling peduli dan berbuat nyata, agar budaya itu tidak punah ditelan zaman, bukan hanya slogan tok,” tegasnya.
Dikatakannya bahwa orang Batak telah memiliki slogan ”Masipature Hutana Be” tetapi tidak terlihat bukti konkritnya. Untuk itu perlu mencontoh masyarakat Padang dengan ”Minang Sagabu” kepedulian mereka terhadap tanah leluhurnya perlu dicontoh. Padahal orang Batak punya  falsafah ”Arga do Bona ni Pinasa.”, sampai dimana pelaksanaannya ? Andalah yang menjawab sendiri.  Namun buktinya pembangunan yang terlihat hanya pada makam atau tugu leluhurnya. Alangkah indahnya seandainya pembangunan tugu yang menelan puluhan bahkan ratusan juta, dimanfaatkan  untuk meningkatkan kualitas pendidikan para keturunannya. Sungguh suatu kekuatan yang luar biasa.

IKIP JADI UNIVERSITAS SUDAH TEPATKAH? “ Oleh: Murnaria Manalu


For: Didaktika  UNJ
Penulis : Murnaria Manalu
Mahasiswa S3 UNJ  Jurusan MP 2003/2004
Unit Kerja : SMP Negeri  216 Jakarta
HP: 08129677561


“ IKIP JADI UNIVERSITAS SUDAH TEPATKAH? “
Oleh: Murnaria Manalu
Dimuat di Majalah Didaktika Universitas Negeri Jakarta


a.      Guru dan Dosen sebagai Tenaga Profesional.

        Guru dan dosen merupakan tenaga kependidikan yang bertugas mengajar setelah menyelesaikan  pendidikan di lembaga pendidikan tinggi. Seorang guru atau dosen merupakan pejabat profesional.  [1]  Menurut Schein (1972) yang dikutip Made dan penulis mengambil  3 dari  10 ciri, untuk mendukung judul di atas. Ciri-ciri professional  adalah : (1) bekerja sepenuhnya dalam jam-jam kerja (full time), (2) pilihan pekerjaan itu didasarkan kepada motivasi yang kuat, (3) memiliki seperangkat pengetahuan, ilmu, dan keterampilan khusus yang diperoleh lewat  pendidikan dan latihan yang lama. Kenapa point nomer tiga diberi tanda miring dan tebal? Hal ini untuk mempertegas peran penting suatu lembaga pendidikan yang akan mencetak guru atau dosen. Hal ini didukung oleh  UU RI Nomor 14 tahun 2005 bahwa guru dan dosen adalah tenaga professional. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.[2]  Pada undang-undang tersebut terdapat  pasal 19 sampai pasal 25 yang  mengatur dan menjelaskan lembaga pendidikan tinggi yang mempersiapkan  guru dan dosen, serta memuat begitu tingginya peran pendidikan tinggi yang mencetak  tenaga professional tersebut.
        Universitas Negeri Jakarta sebagai salah satu lembaga yang mencetak tenaga profesional guru dan dosen memiliki peran yang besar untuk mencetak tenaga kependidikan guru dan dosen di Indonesia. Dari informasi umum sejarah dan hari jadi Universitas Negeri Jakarta, menjelaskan perkembangan  cikal bakal IKIP Jakarta menjadi Universitas Negeri Jakarta. [3] Pada awal kemerdekaan,  pemerintah Indonesia merasakan kurangnya tenaga kependidikan di semua jenjang dan jenis lembaga pendidikan. Untuk meng­atasi masalah ini pemerintah mendirikan berbagai kursus pendidikan guru. Sekitar tahun 1950-an, pada jenjang pendidikan menengah didirikan B-I, B-II, dan PGSLP yang bertugas menyiapkan guru-guru untuk sekolah lanjutan. Peningkatkan mutu dan jumlah guru terus dilakukan melalui pendirian Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG). Berdasarkan Keputusan Menteri P dan K No. 382/Kab. tahun 1954. PTPG ini didirikan di empat kota yakni Batusangkar, Ma­nado, Bandung, dan Malang. Dengan demikian terdapat dua macam lembaga pendidik­an yang menghasilkan tenaga guru, yaitu Kursus B-I/B-II/PGSLP dan PTPG. Kedua lembaga ini kemudian diintegrasi­kan menjadi satu lembaga pendidikan melalui berbagai tahap. Pada tahun 1957, PTPG diintegrasikan ke dalam Fakultas Ke­guruan dan Ilmu Pendidikan pada universitas terdekat di provinsi tersebut. Berdasarkan PP No. 51 tahun 1958 Fakultas Paedagogik diintegrasikan ke dalam FKIP.
Pada tahun 1963, oleh Kementerian Pendidikan Dasar mendirikan Institut Pendidikan Guru (IPG), guna menghasilkan guru sekolah menengah; sementara berdasarkan Keputusan Menteri P dan K No. 6 dan 7, tanggal 8 Pebruari 1961 Kursus B-I dan B-II diintegrasikan ke dalam FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan), di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi yang juga menghasilkan guru sekolah menengah. Dualisme ini dirasakan kurang efektif dan mengganggu manajemen pendidikan guru. Untuk mengatasi ini maka kursus B-I dan B-II di Jakarta diintegrasikan ke dalam FKIP Universitas Indonesia.  Melalui Keputusan Presiden RI No. 1 tahun 1963 tanggal 3 Januari 1963, ditetapkan integrasi sistem kelembagaan pendidikan guru salah satu butir pernyataan Kepres. tersebut adalah bahwa surat keputusan ini berlaku sejak 16 Mei 1964, yang kemudian dinyatakan sebagai hari lahirnya IKIP Jakarta. FKIP dan IPG diubah menjadi IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Proses pengintegrasian  FKIP-Universitas Indonesia dan IPG Jakarta, melahirkan IKIP Jakarta. Dalam perkembangan selanjutnya IKIP Jakarta setelah berusia lebih kurang 36 tahun, sejak tanggal 4 Agustus 1999 berubah menjadi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berdasarkan Keppres 093/1999 tanggal 4 Agustus 1999, dan peresmiannya dilaksanakan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 31 Agustus 1999 di Istana Negara. Hari jadi Universitas Negeri Jakarta ditetapkan sama dengan hari jadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta yang merupakan cikal bakal Universitas Negeri Jakarta yaitu pada tanggal 16 Mei 1964.
      Berdasarkan Keppres Nomor 93 tahun 1999, tersebut berarti kurang lebih sepuluh tahun setelah terjadi perubahan  kebijakan  IKIP menjadi Univesitas. Sampai dimana hasil kebijakan tersebut dapat menghasilkan tenaga professional guru dan dosen yang berkualitas dan diterima di dunia kerja. Menurut Tilaar dan Riant Nugroho hendaknya kebijaksanaannya merumuskan tujuan bersama yang dinilai tepat untuk bangsanya.[4] ? Sudah tepatkah terjadi perubahan kebijakan itu  terhadap kepentingan anak bangsa?
Barangkali kita perlu mendengar pendapat anak bangsa  terhadap  kebijakan IKIP Jakarta menjadi UNJ tersebut sebagai lembaga yang mempersiapkan tenaga guru dan dosen yang professional  di internet antara lain: (1) Dulu dikenal sebagai IKIP atau Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, sekarang jadi Universitas-tak beda dengan perguruan tinggi lainnya. (2) Saya tertarik pada topik ini karena buat saya kasus ini membuat UNJ jadi seperti tak punya jati diri. demikian pula yang terjadi  dengan mahasiswanya. (3) Saya teringat akhir tahun lalu saya dan teman-teman mengantar siswa kami berkunjung ke UNJ, saat itu kami dapat kehormatan diterima oleh mahasiswa dari BEM UNJ yang juga mempresentasikan tentang jurusan dan fakultas di UNJ. sayangnya…saya terkaget-kaget dengan pernyataannya: “lulusan UNJ tidak harus jadi guru kok.”  (4) Oh nooo…kedengarannya biasa saja memang. tapi buat saya..aneh. kenapa aneh? karena jika begitu keadaannya di pandangan mahasiswa..maka apa keunggulan UNJ? (5) Kalau jawabannya adalah bahwa UNJ bisa mencetak tenaga pendidik, lalu kenapa UNJ jadi Universitas bukannya tetap jadi IKIP saja?  (6) Saya banyak menyarankan pada lulusan SMA yang mau melanjutkan ke perguruan tinggi: kalau kalian tertarik masuk ke universitas mantan IKIP maka pilihlah yang  program studi pendidikan. Bukannya saya menepikan jurusan yang non-pendidikan. tapi saya berpikir…bagaimanapun juga lembaga-lembaga  bekas  IKIP ini pada desainnya tetap berisi para ahli di bidang pendidikan. Coba anda hitung sudah berapa lama IKIP ambil bagian dalam urusan percetakan lembaga pendidikan? (7) Lalu berapa lama UI berurusan dengan ilmu-ilmu “murni” (saya bilang begitu karena tak bisa menemukan term yang pas buat program studi non-pendidikan). (8) Yah..anda bisa berpikir sendiri lah. (9) Bagaimanapun..banggalah terhadap almamater saya, sayapun bangga jadi mahasiswa UNJ makanya bisa lahir tulisan ini…saking sayangnya dan perhatiannya saya pada almamater saya ini..: (10) Sebagai alumnus ke empat kalinya dari IKIP Jakarta  atau  Universitas Negeri Jakarta, tentu penulis bangga sekaligus berharap banyak  akan keberadaan lembaga pendidikan tinggi ini  agar selalu meningkatkan kualitas sarana dan prasarananya agar benar-benar menjadi lembaga pendidikan tinggi yang bermutu baik  dan  menjadi pilihan utama dan pertama, bukan pelarian  pilihan  dalam memilih universitas negeri. [5]

b.      Keberadaan Universitas Mantan Ikip

         Mengapa Universitas mantan Ikip Negeri  masih perlu berbenah diri secara  maksimal, karena hasil penelitian World Universities,s Ranking on The Web January 2009, dari beberapa universitas mantan IKIP ini, hanya dua Universitas yang masuk ke dalam daftar 50 Universitas yang berkualitas di Indonesia. Universitas mantan IKIP ini perlu memiliki ketegasan pilihan dan konsistensi dalam penyelengaraan pendidikan. Karena universitas ini membuka diri dengan menyelenggarakan pendidikan pada Bidang Pendidikan dan Non Pendidikan, karena ke dua hal  ini menuntut sarana dan prasarana yang berbeda, dan perlakuan keilmuan yang berbeda. Dan juga perlu keseragaman keputusan salah satu contohnya pada jurusan Georafi di beberapa jurusan ini masuk Fakultas  MIPA sementara beberapa universitas mantan Ikip ini masuk Fakultas Sosial. Belum lagi pilihan membuka  jurusan baru antar universitas ini sangat beragam sementara ketersediaan dosen belum memadai berdasarkan  jurusan yang baru di buka. Tentu hal ini akan berdampak negative pada out put universitas  mantan IKIP serta kualitas dan  profesionalisme para lulusannya.
          Sudahkan ada penelitian yang akurat  terhadap kesiapan dan kualitas  lulusan mahasiswa  mantan IKIP terhadap dunia kerja setelah menggunakan label  universitas  dan membandingkannya dengan lulusan IKIP sepuluh tahun sebelumnya ? Apakah perlakuan  para pengelola dan pelaksana pendidikan sama terhadap mahasiswanya? Apakah ketersediaan  sarana prasarana terhadap bidang pendidikan dan non pendidikan sama haknya ? Apakah pembiayaan antara keduanya terdapat perbedaan?  Bila universitas mantan Ikip ini lebih fokus kepada Non Pendidikan bagaimana dengan tuntutan “ adanya sertifikasi guru ?” Bukankah Universitas mantan IKIP mendua hati, disatu sisi ingin sederajat dengan sesama universitas, tetapi disisi lain masih menjadi institut yang meningkatkan kompetensi guru karena proyek ini sangat menggiurkan karena seorang assessor menilai guru dengan honor yang lumayan.  Jadi apa bedanya? Belum lagi IKIP swasta yang tidak mau merubah nama menjadi universitas, jadi kebijakan pemerintah mengenai pendidikan tinggi ini menjadi kebijakan gado-gado. Apakah kebijakan gado-gado di negeri ini sudah dipikirkan efeknya di masa depan? Coba seandainya IKIP tetap menjadi IKIP (LPTK) dan bekerjasama dengan LPMP dan MGMP, ketiganya  bersatu padu dalam satu kesinambungan kebijakan untuk meningkatkan kualitas para guru?  Pasti kajian penelitian yang gagal menjadi disertasi ini layak untuk dipertimbangkan untuk memperbaiki pendidikan kita yang saat ini terjadi ? Daripada tanpa status yang jelas.
        Menjawab pertanyaan di atas Universitas mantan IKIP perlu membuka diri lebih luas terhadap informatisasi dan tehnologi agar tidak tertinggal dengan universitas yang bukan mantan IKIP. Proses informatisasi yang cepat karena kemajuan teknologi semakin membuat horizon kehidupan diplanet dunia semakin meluas dan sekaligus dunia ini semakin mengerut. Hal ini berarti berbagai masalah kehidupan manusia menjadi masalah global atau setidak-tidaknya tidak dapat dilepaskan dari kejadian dibelahan bumi yang lain, baik masalah politik, ekonomi, maupun sosial. Pendidikan bertugas untuk mengembangkan kesadaran atas tanggung jawab setiap warga negara terhadap kelanjutan hidupnya. [6] 
          Ingat persaingan universitas mantan IKIP menjadi lebih luas lagi. Jangan puas dengan bersaing dengan sesama IKIP saja, tetapi juga dengan Universitas yang keilmuan dan penelitiannya sudah diakui dunia.  Untuk menang dalam persaingan antara lain dengan meningkatkan sarana dan prasarana. Salah satunya meningkatkan sarana dan prasana perpustakaannya, baik perpustakaan fakultas ataupun pusat harus bisa mendukung mahasiswa untuk memperoleh ilmu seluas-luasnya. Perpustakaan sebaiknya  bukan hanya cara manual tetapi sudah bisa diakses di dunia maya. Jam buka dan tutup perpustakaan juga perlu diperbaharui, dibeberapa  universitas bahkan sudah berani buka sampai malam hari, namun IKIP Jakarta tercinta hanya sebatas jam kerja pegawai kantoran. Tentu hal ini membawa kekesalan tertentu kepada penggunanya. Sementara  referensi dan jumlah buku yang dapat dipinjam hanya dua buah permahasiswa, dan waktu baca /pinjam juga terbatas, tentu sarana pendukung ini  masih invalid dan perlu segera dibenahi.  Belum lagi  keberadaan hot spot universitas  belum menjangkau keseluruh wilayah kampus dengan  baik.  Hanya di pojok-pojok tertentu yang punya sinyal baik, padahal akses internet sudah menjadi kebutuhan para mahasiswa. Fasilitas listrik dan pojok-pojok tempat mahasiswa duduk untuk mengakses internet belum memadai, bahkan minim  keamanan dan keselamatan  akibat laptopnya asal dapat tempat saja. Alangkah indahnya seandainya ruing ruing tenda diperbanyak di sekitar kampus sehingga mahasiswa dapat berdiskusi sekaligus mengakses internet dengan mudah dengan saluran listrik yang terdapat disetiap riung tenda atau  pojok internet. Jadi lab computer  bukan membuka warnet yang memasang tarif lebih mahal atau setara   dengan warnet swasta. Kembalikan lab computer ke fungsinya untuk membantu mahasiswa yang tidak mampu agar mereka juga dapat mengakses internet.
          Belum lagi di kelas-kelas ruang belajar mahasiswa keberadaan LCD yang sangat terbatas, hal ini gambaran keberadaan sarana yang terbatas. Apakah hal ini   akibat dari sebagian dosen yang masih belum menggunakan tehnologi terbaru ini atau karena kurangnya sarana. Jumlah ruang kelas juga masih belum bertambah sementara jumlah mahasiwa non regular bertambah dengan pesat. Tidakkah ratio ruang kelas dan jumlah mahasiswa dan dosen harus seimbang dengan baik.  Penelitian dan pengembangan profesi dosen pada bidang pendidikan dan non pendidikan apakah sudah sesuai dengan kaidah keilmuan dan prinsip kerja dari metode penelitian yang sesungguhnya. Masih banyak lagi yang harus diperbaiki pada kampus tercinta Universitas mantan IKIP ini agar keberadaannya mendapat pengakuan di masyarakat.

c.       Kesimpulan

        Perubahan Ikip menjadi Universitas hendaknya tidak menjadikan lembaga mantan IKIP ini  menjadi menara gading bagi para guru alumnusnya. Dualisme visi lembaga ini untuk non pendidikan dan non kependidikan ini bukan hanya merupakan kemubaziran sumber dana dan daya, juga akan memperlemah citra profesi kependidikan. Karena lembaga tidak lagi focus pada penghasil guru yang berkualitas, akibatnya profesi guru  sebagai pilihan profesi kelas dua. Profesi guru dan dosen haruslah diyakini sebagai profesi masa depan , sehingga para tenaga kependidikan perlu dididik di lembaga pendidikan formal  dengan  baik,  menjadi  sarjana “ plus “ . Dan hal ini  menuntut restrukturisasi LPTK. Sejalan dengan itu, lembaga universitas mantan ikip harus tetap menjaga citra profesi guru. Usaha yang dilakukan harus secara sadar ditingkatkan melalui kebijaksanaan pemerintah dan  ditunjang oleh kemauan baik masyarakat luas. Sehingga  Universitas walaupun  mendapat julukan  mantan IKIP, tetaplah konsisten meningkatkan mutu anak bangsa.  Semoga!
          
Daftar Pustaka:

H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan       
          dan kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik ( Jakarta ; Pustaka Pelajar, 2008)
H.A.R Manajemen Pendidikan Nasional kajian Pendidikan Masa Depan, (Bandung, Remaja Rosdakarya,   
           2003)
Made Pidarta, Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, (Jakarta; Rineka
            Cipta; 1997)
Pedoman akademik 2004/2005 Fakultas  Ilmu Sosial,  (Jakarta; UNJ;2004)
UU RI Nomor 14 tentang Guru dan Dosen, (Bandung ; Citra Umbara; 2006)



[1] Made Pidarta, Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, (Jakarta; Rineka Cipta; 1997), h. 265
[2] UU RI Nomor 14 tentang Guru dan Dosen, (Bandung ; Citra Umbara; 2006), h.3
[3] Pedoman akademik 2004/2005 Fakultas  Ilmu Sosial,  (Jakarta; UNJ;2004), h.1
[4] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik ( Jakarta ; Pustaka Pelajar, 2008), h. 262
[5] Face book alumni UNJ.
[6] H.A.R Manajemen Pendidikan Nasional kajian Pendidikan Masa Depan, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2003), h.4